Biarkan aku yang letih,bukan mereka. Perjuangan ini tidak sebanding dengan perjuangan anak-anak di Indonesia, dengan berbagai kondisi mereka tetap bersemangat ke sekolah meskipun menempuh perjalanan jauh. Saya ingin kaki yang saya gunakan untuk berlari tidak hanya menguji fisik dan mental,namun juga dapat memberikan manfaat dan kebahagiaan untuk orang lain. Itu yang mengawali saya untuk bersedia mengikuti Ultra Marathon 170K dari Jakarta ke Bandung dan donasi sepeda ini untuk membuat mereka anak yang kurang beruntung dapat lebih bersemangat lagi”
-Monah-

Rasa peduli dengan sesama manusia dapat di ekspresikan dengan banyak cara. Menolong sesama tidak hanya dapat dilakukan dengan memberi hal yang berupa materi atau uang , ada banyak hal lainya yang bisa di bagi. Saat ini, masih banyak anak anak indonesia yang ya harus menempuh jarak yang jauh untuk mengenyam pendidikan. Tak hanya jauh,bahkan banyak di antara mereka yang menempuh jalur yang berbahaya hanya untuk sampai di sekolah.

Bahkan wilayah yang tidak jauh dari ibukota daerah masih belum merasakan pembangunan pendidikan. Tak sedikit kisah anak anak penerus bangsa indonesia yang harus menyebrangi sungai , mendaki , dan berjalan berkilo kilo meter jauhnya untuk mejalankan kewajiban menuntut ilmu. Hal tersebut menggugah rasa prihatin Monah, membuat Ia bersama komunitas itb80seh mengadakan bike to run, yaitu acara yang di gagas Monah dan teman temannya untuk mendonasikan sepeda kepada anak anak kurang mampu yang diadakan Jumat (12/10) lalu. Monah adalah seorang aktifis yang aktif di kegiatan kegiatan olahraga sepeda sejak tahun 2012, dan mulai aktif di dunia maraton sejak 2015. Ia menchallenge dirinya sendiri untuk melakukan solo ultra marathon sebagai bentuk kepeduliannya kepada anak anak kurang mampu.

Monah dan teman teman itb80seh memilih menyumbangkan sepeda karena melihat bagaimana perjuangan anak-anak di Indonesia, dengan berbagai kondisi mereka tetap bersemangat ke sekolah meskipun menempuh perjalanan jauh. Sepeda bisa menjadi alat transportasi untuk mempermudah kehidupa mereka dan membuat mereka lebih bersemangat lagi.

Dengan target 170 km di mulai dari jakarta – puncak – padalarang – sampai kampus institut teknologi bandung , monah bersama teman teman memberikan donasi 1 sepeda yang di sponsori polygon setiap 10km yang berhasil di capai oleh Monah. Dalam acara ini Monah berlari sendirian selama 15 jam dengan hanya beristirahat setiap 10 kilo meter. “biarkan aku saja yang berjalan berpuluh puluh kilometer jauhnya, bukan mereka” ujar Monah semangat.

170 kilo meter adalah jarak yang luar biasa untuk di tempuh, apalagi dengan berlari. Rasa gelisah telah menyelimuti hati monah bahkan sebelum acara dimulai,grogi tidak dapat menyelesaikan goal-nya,dan takut membayangkan apa yang akan terjadi selama ia berlari ultra marathon dari jakarta menuju bandung.

Benar saja, banyak drama yang terjadi saat melakukan perjalanan. Mulai dari teriknya matahari dan iklim indonesia yang luar biasa panas membuat seluruh tubuhnya terasa terbakar. Rasa mual di tengah perjalanan akibat memaksa diri terus berlari. Menahan kantuk sambil berlari di malam hari saat belum waktunya beristirahat karena belum mencapai pos di setiap 10 kilo meter. Dengan semangat yang membara dan harapannya dapat membahagiakan banyak anak anak kurang mampu. Monah terus berlari berusaha mengabaikan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Jantungnya berdebar debar berpacu dengan hentakan kaki di setiap langkah panjangnya. Ia mengabaikan seluruh tubuhnya yang menjerit protes meminta istirahat dan tetap melangkahkan kaki.

Saat berlari Monah teringat masa kecil. Almarhum ayahnya selalu menggonceng Monah di depan sepeda kemanapun mereka pergi ,karena hanya sepeda transportasi yang ayahnya punya. Teringat juga saat pertamakali ia mempunyai sepeda miliknya sendiri. Iya sangat bahagia saat mempunyai sepeda,bahkan harus di paksa pulang karena terlalu lama bermain dengan sepedanya. Monah kecil tidak bisa tidur memikirkan sepedanya, takut sepedanya akan hilang saat tidak di jaga. Keterbatasan materi yang Ia alami semasa kecil membuatnya terus berlari. Membayangkan kebahagiaan yang sama dapat diberikannya ke pada anak anak kurang mampu saat menerima sepeda baru. Ia juga teringat saat anak angkatnya tertawa sambil bermain bersepeda, ia berharap tawa yang sama akan dirasakan oleh anak anak kurang mampu saat bermain sepeda, sama seperti tawa anaknya. Hal itulah yang selalu ia ingat saat hampir menyerah saat berlari.

Namun Monah tetaplah manusia, sekuat apapun semangat dan tekadnya,fisik manusia pasti mempunyai batas. Rasa perih yang tak tertahankan membuatnya memeriksa keaadaan kakinya yang ternyata mengalami blister, yaitu melepuhnya kulit akibat gesekan kaki dengan sepatu. Tanpa pamrih Monah menahan rasa sakit dan mencopot sepatunya agar dapat terus berlari mengabaikan rasa teriris di kulit kakinya. Ia memaksa kaki cideranya berlari tanpa sepatu sampai pemberhantian terdekat. Bahan di kilometer ke 70 iya memecahkan cairan blister yang berada di kakinya dengan paksa agar dapat melanjutkan ultra marathon. Ia tetap ngotot melanjutkan perjalanan meskipun sudah di peringati oleh panitia jika cideranya akan bertambah parah jika meneruskan matarhon. Terus meneruskan perjalanan karena Ia yakin bahwa apa yang telah Ia mulai harus diselesaikan. Monah tidak mau mengakhiri marathon dengan alasan menyerah. Panitia menghormati keputusan monah dan akhirnya menyemangati perjuangannya.

Saat berlari dan terus berlari waktu melayang dengan cepat seiiring langkah monah, tepat di kilometer ke 83 panitia mengumumkan bahwa waktu telah habis. Dengan terhormat Monah terpaksa menghentikan langkahnya setelah 15 jam waktu yang telah di berikan oleh panitia untuk berlari dari jakarta ke bandung habis. Ia berhenti di puncak ,Cipanas dalam keadaan kakinya yang cidera yang segera di rawat dan disambut dengan bangga oleh panitia.

Salah satu anak penerima manfaat yaitu Maisel Firmansyah (11) yang saat ini duduk di kelas 5 SD Juara Pekanbaru.  Untuk pergi ke sekolah ia harus berjalan kaki dari rumahnya yang berjarak kurang lebih 2 km, dengan menyebarangi jembatan penyebrangan. Bisa mendapatkan sepeda, akan menjadi barang mewah bagi Maisel, karena keluarganya tidak memiliki alat trasnsportasi, sehingga kemana-mana ia harus selalu berjalan kaki.

Artikel ini ditulis oleh Afni ( ACTy Team Polygon)

ACTy merupakan komunitas yang terdiri dari 11 anak muda terpilih yang memiliki passion di dunia industri kreatif. Bersama Polygon, kami memiliki semangat dan energi yang sama untuk saling menginspirasi dan menghasilkan karya.

What you can read next

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *